Senin, 01 Desember 2008

PERANG KAMANG

PERANG KAMANG
Sudahlah garak takdir Tuhan Kepado Beliau Haji Abdul Manan Kepalo Parang urang namokan Ajalpun sampai sudahlah bayan (dikutip dari Nazam Perang Kamang; H.Achmad Marzuki)
Kamang, dinihari 15 Juni 1908: Langit temaram, sinar rembulan berkabut. Ribuan orang berpakaian putih sedang menggelegak darahnya. Seorang haji bernama Haji Abdul Manan, menjadi pemimpin di antara mereka. Sayup-sayup terdengar orang ratib, sayup pula bunyi kentongan dan tabuh terdengar. Negeri akan perang. Anak-anak menyuruk di kamar mandehnya. Istri melepas suami di pintu kamar, takut melepaskan genggaman. Junjungan badan diri akan mengadu nasib membela negeri yang merasai
dihina penjajah. Malam itu hingga subuh, ratusan nagari lain di Minangkabau sedang tidur. Tapi Kamang, negeri bertuah itu, bangun dengan darah menggelegak. Kelawang tajam buatan Sungai Puar dipesang satu-satu. "Kalau tak dia, saya yang mati!"
Inilah perang syahid, langkah pertama dengan Bismillah, diikuti ucapan Allahuakbar! Dimana di Minangkabau ini rakyat mau berperang melawan Belanda? Tak banyak benar. Ada di Pasaman dengan Tuanku Imam Bonjol dan tuanku-tuanku lainnya yang terkenal itu. Mandeh Sitti Manggopoh di Manggopoh, seorang perempuan, tapi bagaknya Allahurobbi, tak tertandingi oleh wanita Minangkabau manapun hingga detik ini! Lalu di Kamang. Dan Kamang menyerahkan putra-putra terbaiknya malam hingga subuh itu. Sebanyak 250 orang tewas bersimbah darah. "Dirikan di sini tugu tetesan Perang Kamang!", tukas Jenderal AH Nasution saat berkunjung ke Kamang beberapa tahun silam.
Tiap nagari punya episode yang bisa dibanggakannya. Tapi episode Kamang menjadi kebangaan Ranah Minang. Orang-orang Kamang dan sekitarnya, terutama di Agam Tuo menantang dengan keras penindasan melalui pajak yang diterapkan penjajah Belanda.
Pajak Di Bukittinggi pada 1 Maret 1908 diumumkanlah pemberlakuan pajak untuk rakyat. Pajak pula yang mau dipungutnya oleh Belanda-belanda itu, padahal hidup sedang marasai. Tak suka rakyat. Ini, himpit berhimpit, sudahlah awak dijajahnya, dikutipnya pula.
Controlir Westenenk, kemudian mengeluarkan perintah untuk mendata ulang kekayaan penduduk tertanggal 21 Maret 1908. Perangai meingkek-ingek Belanda ini disambut protes dan tantangan hebat dari seluruh rakyat Minangkabau. Rakyat bergejolak. Di mana-mana suasana panas. Padahal sebelumnya telah diterapkan kultur stelsel, paksaan menanam kopi. Kalau tak salah, 14 Juni 1908 adalah Hari Jumat. Rapat-rapat dan pembicaraan sudah berlangsung sejak awal 1908, makin memanas pada bulan-bulan sesudahnya. Hari-hari menjelang 15 Juni, adalah hari yang gelisah.
Lalu kenapa Kamang? Mengutip catatan Ketua Bamus Nagari Kamang Ilia dan Sekretaris Panitia Peringatan Seabad Perang Kamang 1908, Muhammad Razi,SE., jelas bahwa Kamang adalah nagari yang maju. Nagari ini terletak bujuran Bukit Barisan. Nagari dengan Kelarasan Koto Piliang ini, dicerminkan sebagai sebuah nagari dengan yang mobilitasnya cukup tinggi.
Perang Kamang itu melibatkan semua tokoh tali tigo sapilin, Angku Lareh A Wahid Kari Mudo dan M Saleh Dt Rajo Penghulu, H Abdul Manan. Di Kamang memang ada satu lareh yang berkedudukan di Jalan Basimpang Jorong Pintu Koto. Masih menurut Muhammad Razi, nama Kamang mulai dicatat menyusul pemurnian agama di Minangkabau. Gerakan ini, katanya, dipimpin Tuaku Nan Tuo dari Cangkiang, IV Angkek yang kemudian menjadi gerakan Pidari setelah Tuanku Nan Renceh mendapat kawan sepaham yakni Haji Miskin dan Haji Piobang. Kamang, dicatat juga sebagai benteng yang kuat. Bahkan di sana aga goa Perang Pidari yang bebatuannya tempo hari banyak diambil orang.
Pada 25 Oktober 1833 lahirlah ayang yang dikenal sebagai Plakat Panjang, sebuah plakat yang menjerat Minangkabau kemudian hari. Masih sesuai catatan Muhamamd Razi, pungutan pajak yang hendak diterapkan itu nyaris diamini oleh laras-laras lainnya. Tapi Laras Kamang, Garang Dt Palindih menantangnya. Dalam rapat para laras dengan Westenek 11 Maret 1908 di Bukittinggi, sikapnya itu terlihat jelas.
Buntu, Belanda ingin memaksakan kehendaknya. Maka Datuk Garang kita ini bangkit keperpihakannya kepada rakyat. Ia bersama A.Wahid Kari Mudo, H.Jamik. M Saleh Dt Rajo Penghulu serta tokoh masyarakat lainnya mempersiapkan diri guna menghadapi kemungkinan terburuk. D Kamang Mudiak Haji Abdul Manan, ulama hebat itu, telah mengambil sikap serupa pula. Tak mau dia rakyat dibebani lagi. Abdul Manan punya banyak pengikut yang setia. Catatan sejarah lainnya menunjukkan, rumah Haji Abdul Manan dikepung oleh Belanda.
Pasukan Belanda dalam laporannya: Kemudian kami terus ke Kampung Tangah dan di sana kami mengelilingi rumah kedua Haji Abdul Manan. Kedengaran ribut ribut dalam rumah, lalu istri haji itu menjerit keras keras secara mencurigakan. Begitu keras supaya didengar seluruh kampung. Semua kata kata saya tidak berhasil "biar tuan kumandur, saya tidak akan buka pintu."
Ulama ini akhirnya tertembak, sebagaimana laporan tulisan tangan pimpinan pasukan Belanda pada atasannya. Dalam buku Rusli Aram tertulis: Pihak kita 9 mati, 13 luka luka. Di pihak rakyat 90 mati. Tentara sangat letih karena aksi selama 12 jam, 4 brigade marsuse dikirim dari Padang Panjang ke Bukittinggi.
Perang basosoh Perang basosoh dilukiskan oleh Belanda sebagai sebuah perang yang hebat. Orang-orang Kamang dilukiskan hadi siap mati dengan senjata tajam dan jimat. tapi yang dilawan adalah Belanda dengan senjata mutakhir. Tentu saja tak berimbang. Tapi semagat membela tanah air orang Kamang ketika itu, tak tertandingi, sekalipun oleh orang Kamang zaman sekarang.
Serangan terhadap Kamang dilakukan melalui tiga jurusan yaitu via Pauh Kamang Mudiak, lewat Pulai Magek dan igo Lurah Magek. Pertempiran berlangsung 10 ronde, ronde kesepuluh hanya satu orang yang gagah berani maju. Pertempuran paling sengit terjadi pada ronde kedelapan. Banyak pemuda berpakaian putih membentuk kelompok-kelompok maju menghadang, di belakangnya ratusan pemuda lain melingkar dan berputar berkeliling. Catatan Rusli Amran menyebutkan, pertempuran berakhir sekitar pukul 04.15 pagi, tatkala ayam kinantan hendak berkokok. Pertempiran paling sengit itu sekitar pukul 3.30 WIB. Kamang Tangah, pukukl 02.00 pagi. Pimpinan tentara Belanda L.C. Westenenk menderap sepatu lars nya di Kampung Tangah. Sayup terdengar bunyi ratib. "Laillah Hailallah...."
Menurut catatan Buchari Nurdin, akhirnya sekitar pukul 02.30 dinihari, tanah Kamang berubah menjadi front pertempuran hebat, antara pasukan Belanda dengan pasukan rakyat. Rakyat dipimpin antara lain oleh H Abdul Manan, yang sebelumnya, telah bersiap-siap menghadang kedatangan pasukan Belanda. Sejumlah tokoh pejuang lainnya, yang juga telah siap dengan pasukan mereka masing-masing. Seperti Dt Rajo Penghulu bersama istrinya, Siti Aisiyah, Haji Jabang, Pado Intan, Tuanku Parit, Tuanku Pincuran, Dt Marajo Tapi, Dt Marajo Kalung, Dt Perpatih Pauh, Sutan Bandaro Kaliru. Begitu juga pasukan rakyat yang berada di Kamang Ilia. Dengan dipimpin Kari Mudo, Dt Perpatiah
Magek, Dt Majo Indo di Koto Tangah, Dt Simajo Nan Gamuk berusaha bahu membahu melawan pasukan Belanda. Pertempuran sengit berakhir sudah. Pasukan Westenenk mundur menuju Pauh sembari membawa tawanan Dt Perpatih. Subuh yang berembun, bersimbah darah. Darah anak nagari Kamang, belum berhenti menetes, tatkala fajar menyingsing, tatkala beduk subuh ditabuh, tatkala azan dikumandangkan subuh itu.
Pertempuran itu sendiri, menyebabkan berjatuhannya korban di kedua belah pihak, baik di pihak rakyat maupun pasukan Belanda. Angka korban simpangsiur. Koran-koran yang terbit di Padang menyebut angka 250 orang rakyat Kamang tewas, belanda sendiri menyebut sekitar 90 orang atau lebih. Mereka yang kemudian ditangkap misalnya pada 19 Juni Lareh Garang Dt Palindih dan kemenakannya Dt Siri Marajo, Penghulu Kepal Tanhag dan A. Wahud Kari Mudo, ditahan di Bukittinggi. ada 21 Juni, Kari dipindah ke Padang, disusul mamaknya dan meringkuk di penjara selama 10 bulan. Bahkan dipindahkan pula ke Batavia. Tahun 1910, Dt Siri wafat di penjara. Tak lama kemudian Dt Garang dibebaskan. Ia pulang ke Kamang.
Pejuang itu pula, ia kemudian meminta jasa Inyiak Djambek. Ulama kharismatik ini mengadakan pengajian-pengajian di Kamang guna menolong rakyat yang terus ketakutan. "Perang Kamang bukanlah peristiwa satu malam saja," tulis Muhamad Razi. Satu malam saja orang Kamang bergerak, sampai kini sejarahnya terus dibaca orang, apalagi kalau bermalam-malam lamanya, berbulan-bulan. Untuk Tanah Air tercinta, tak perlu semalam atau berbulan-bulan, sehari saja cukup. Sejarah penting seringkali muncul dari daerah. *

Tidak ada komentar: